Senin, 12 April 2010

Tiga Sudut

Semua menjad sangat kelabu, saat kehidupan mencampakkanmu dari ruangnya. Tidak ada yang seperti ini sebelumnya, bahkan tak pernah juga terpikirkan. Serasa mati, tak ada arti, hanya yang mengalami yang bisa merasakan pedihnya. Untuk melanjutkan tak ada harapan, hanya berhenti, tertegun, dan terpelanting kebelakang menerima kenyataan yang pahit.

Matanya nanar menerawang kesegala penjuru, dingin angin malam menjilati tubuhnya yang telanjang, bahkan kulitpun sobek sana sini mengeluarkan darah kental dan mengumpal bersama darah putih. Unutk merasakan lelah pun takut, sakit seperti tak ada, untuk apa memikirkannya jika sudah sadar nyawa tak lagi bisa dipertahankan. Tak ada lagi pemaknaan hidup selama ini karna terlalu cepat dan tak terencanakan, terlalu cepat akan berahir, memohon tak lagi punya tempat. Tuhan, ini kehendak Tuhan. Tapi apakah kejendak Tuhan bila ketidakadilan yang dirasakan, bagaimana menjelaskannya? Tuhan seperti membisu, setan pun tidak ada yang mendekat untuk menawarka keselamatan hidup.

Suara desingan peluru tak henti-henti bernyanyi dibelakang, beruntun, bersaing, seperti racikan musik okrestra oleh komposer. Jalan hutan yang gelap ini bisa jadi adalah tempat terakhir dalam hidup, setidaknya lebih baik jika harus mengakhiri hidup di penampungan yang kumuh dan kotor itu. Mereka adalah budak-budak tak beradap, yang hidup dalam kebodohan dan doktrin sesat, tak ada bedanya dengan anjing yang mengekor di pantat majikannya. Lalu untuk apakah mereka hidup, bila hanya menjadi ternak-ternak peliharaan, tidak seperti layaknya manusia, yang hidup, berpikir, perasa, dan punya pilihan. Akulah yang kabur dari mereka, dengan telanjang, suci dan murni. Tidak ada yang bisa menghalangiku untuk bebas, walau matipun akan aku pertaruhkan. Mati memang begitu menakutkan, tetapi juga menggoda, dewa kematian adalah penjagaga dari kebiadapan dunia, saat manusia tak lagi bisa diharapkan untuk hidup, seperti aku, yang tidak lagi menjadi manusia layak bagi mereka hingga dewa maut kasihan dan segera datang menjemputku. Aku sangat takut untuk mati, mati bagiku adalah sebuah penderitaan, tak lagi ada teman, tak lagi susu, sate, dan semua yang aku sukai. Gelap. Hal itulah yang terlintas dan terbayang.

Kaki kiriku tak laki bisa diharapkan, peluru panas itu menghujam dan mematikan urat sarafku. Tubuh ku seret dengan tangan, makin hancur tubuh ini, ranting-ranting menusuk, menggores. Ku hanya ingin cepat berakhir, walau aku juga berharap untuk hidup, tapi bukan dengan pertolongan mereka, tak sudi bila harga diriku juga hancur seperti tubuh ini. Biarlah salah satunya hancur dan lainnya utuh. Suara derap kaki datang, sangat banyak dan mengepung tempat, kusenderkan tubuh dibelakang pohon besar yang membentuk lorong kecil diatara akar besarnya hingga bisa kurebahkan diriku didalamnya. Bukan pasrah, aku tidak mau pasrah, hanya pada Tuhan aku khan pasrah, dengan mereka aku harus tetap awas, sembunyi. Derap semakin dekat, nafasku terdengar seperti bom beruntun yang aku sendiri takut bila terdengar. Kaki mereka terlihat di depanku, tapi mereka belum menemukanku, tubuh telanjang ini telah gelap bersama tanah dan lumpur selama pelarian, keuntungan atau keberuntungan bisa menunda mereka menemukanku.

Lelah mulai kurasakan, aku lihat warna-warni diatas, gelombang pantai, sejuknya pegunungan, indahnya taman, sungguh mempesona. Aku sudah lelah dengan semua ini, lelah menjalani, lelah menunggu, lelah mengharap, tapi aku tidak menyerah, aku hanya curhat dengan Tuhanku, setidaknya memang benar ada Dia khan mendengar peluhku. Dia tak akan memaafkan orang-orang kolot itu, yang mengaku taat tapi mereka taat pada seseorang bukan Tuhan, aku patuh padamu Tuhan. Bisakah kau beri tempat yang nyaman setelah ini, untuk manusia ciptaanmu ini. Bayang-banyang indah mulai mereduo, bersama kesadaranku, tak tahu mengapa, mungkin ada peluru menembus otakku, mungkin ada batang senjata yang dipukulkan ke kepalaku, atau mereka telah menemukanku dan menyeretku. Aku tak peduli lagi, aku telah mati-matian berjuang, dan ini patut mendapa nilai yang besar, nilai untuk seorang manusia yang telah menjadi manusia sesungguhnya, yang menentukan pilihannya.

Tidak ada komentar:

Senin, 12 April 2010

Tiga Sudut

Semua menjad sangat kelabu, saat kehidupan mencampakkanmu dari ruangnya. Tidak ada yang seperti ini sebelumnya, bahkan tak pernah juga terpikirkan. Serasa mati, tak ada arti, hanya yang mengalami yang bisa merasakan pedihnya. Untuk melanjutkan tak ada harapan, hanya berhenti, tertegun, dan terpelanting kebelakang menerima kenyataan yang pahit.

Matanya nanar menerawang kesegala penjuru, dingin angin malam menjilati tubuhnya yang telanjang, bahkan kulitpun sobek sana sini mengeluarkan darah kental dan mengumpal bersama darah putih. Unutk merasakan lelah pun takut, sakit seperti tak ada, untuk apa memikirkannya jika sudah sadar nyawa tak lagi bisa dipertahankan. Tak ada lagi pemaknaan hidup selama ini karna terlalu cepat dan tak terencanakan, terlalu cepat akan berahir, memohon tak lagi punya tempat. Tuhan, ini kehendak Tuhan. Tapi apakah kejendak Tuhan bila ketidakadilan yang dirasakan, bagaimana menjelaskannya? Tuhan seperti membisu, setan pun tidak ada yang mendekat untuk menawarka keselamatan hidup.

Suara desingan peluru tak henti-henti bernyanyi dibelakang, beruntun, bersaing, seperti racikan musik okrestra oleh komposer. Jalan hutan yang gelap ini bisa jadi adalah tempat terakhir dalam hidup, setidaknya lebih baik jika harus mengakhiri hidup di penampungan yang kumuh dan kotor itu. Mereka adalah budak-budak tak beradap, yang hidup dalam kebodohan dan doktrin sesat, tak ada bedanya dengan anjing yang mengekor di pantat majikannya. Lalu untuk apakah mereka hidup, bila hanya menjadi ternak-ternak peliharaan, tidak seperti layaknya manusia, yang hidup, berpikir, perasa, dan punya pilihan. Akulah yang kabur dari mereka, dengan telanjang, suci dan murni. Tidak ada yang bisa menghalangiku untuk bebas, walau matipun akan aku pertaruhkan. Mati memang begitu menakutkan, tetapi juga menggoda, dewa kematian adalah penjagaga dari kebiadapan dunia, saat manusia tak lagi bisa diharapkan untuk hidup, seperti aku, yang tidak lagi menjadi manusia layak bagi mereka hingga dewa maut kasihan dan segera datang menjemputku. Aku sangat takut untuk mati, mati bagiku adalah sebuah penderitaan, tak lagi ada teman, tak lagi susu, sate, dan semua yang aku sukai. Gelap. Hal itulah yang terlintas dan terbayang.

Kaki kiriku tak laki bisa diharapkan, peluru panas itu menghujam dan mematikan urat sarafku. Tubuh ku seret dengan tangan, makin hancur tubuh ini, ranting-ranting menusuk, menggores. Ku hanya ingin cepat berakhir, walau aku juga berharap untuk hidup, tapi bukan dengan pertolongan mereka, tak sudi bila harga diriku juga hancur seperti tubuh ini. Biarlah salah satunya hancur dan lainnya utuh. Suara derap kaki datang, sangat banyak dan mengepung tempat, kusenderkan tubuh dibelakang pohon besar yang membentuk lorong kecil diatara akar besarnya hingga bisa kurebahkan diriku didalamnya. Bukan pasrah, aku tidak mau pasrah, hanya pada Tuhan aku khan pasrah, dengan mereka aku harus tetap awas, sembunyi. Derap semakin dekat, nafasku terdengar seperti bom beruntun yang aku sendiri takut bila terdengar. Kaki mereka terlihat di depanku, tapi mereka belum menemukanku, tubuh telanjang ini telah gelap bersama tanah dan lumpur selama pelarian, keuntungan atau keberuntungan bisa menunda mereka menemukanku.

Lelah mulai kurasakan, aku lihat warna-warni diatas, gelombang pantai, sejuknya pegunungan, indahnya taman, sungguh mempesona. Aku sudah lelah dengan semua ini, lelah menjalani, lelah menunggu, lelah mengharap, tapi aku tidak menyerah, aku hanya curhat dengan Tuhanku, setidaknya memang benar ada Dia khan mendengar peluhku. Dia tak akan memaafkan orang-orang kolot itu, yang mengaku taat tapi mereka taat pada seseorang bukan Tuhan, aku patuh padamu Tuhan. Bisakah kau beri tempat yang nyaman setelah ini, untuk manusia ciptaanmu ini. Bayang-banyang indah mulai mereduo, bersama kesadaranku, tak tahu mengapa, mungkin ada peluru menembus otakku, mungkin ada batang senjata yang dipukulkan ke kepalaku, atau mereka telah menemukanku dan menyeretku. Aku tak peduli lagi, aku telah mati-matian berjuang, dan ini patut mendapa nilai yang besar, nilai untuk seorang manusia yang telah menjadi manusia sesungguhnya, yang menentukan pilihannya.

Tidak ada komentar: