Senin, 12 April 2010

Tiga Sudut

Semua menjad sangat kelabu, saat kehidupan mencampakkanmu dari ruangnya. Tidak ada yang seperti ini sebelumnya, bahkan tak pernah juga terpikirkan. Serasa mati, tak ada arti, hanya yang mengalami yang bisa merasakan pedihnya. Untuk melanjutkan tak ada harapan, hanya berhenti, tertegun, dan terpelanting kebelakang menerima kenyataan yang pahit.

Matanya nanar menerawang kesegala penjuru, dingin angin malam menjilati tubuhnya yang telanjang, bahkan kulitpun sobek sana sini mengeluarkan darah kental dan mengumpal bersama darah putih. Unutk merasakan lelah pun takut, sakit seperti tak ada, untuk apa memikirkannya jika sudah sadar nyawa tak lagi bisa dipertahankan. Tak ada lagi pemaknaan hidup selama ini karna terlalu cepat dan tak terencanakan, terlalu cepat akan berahir, memohon tak lagi punya tempat. Tuhan, ini kehendak Tuhan. Tapi apakah kejendak Tuhan bila ketidakadilan yang dirasakan, bagaimana menjelaskannya? Tuhan seperti membisu, setan pun tidak ada yang mendekat untuk menawarka keselamatan hidup.

Suara desingan peluru tak henti-henti bernyanyi dibelakang, beruntun, bersaing, seperti racikan musik okrestra oleh komposer. Jalan hutan yang gelap ini bisa jadi adalah tempat terakhir dalam hidup, setidaknya lebih baik jika harus mengakhiri hidup di penampungan yang kumuh dan kotor itu. Mereka adalah budak-budak tak beradap, yang hidup dalam kebodohan dan doktrin sesat, tak ada bedanya dengan anjing yang mengekor di pantat majikannya. Lalu untuk apakah mereka hidup, bila hanya menjadi ternak-ternak peliharaan, tidak seperti layaknya manusia, yang hidup, berpikir, perasa, dan punya pilihan. Akulah yang kabur dari mereka, dengan telanjang, suci dan murni. Tidak ada yang bisa menghalangiku untuk bebas, walau matipun akan aku pertaruhkan. Mati memang begitu menakutkan, tetapi juga menggoda, dewa kematian adalah penjagaga dari kebiadapan dunia, saat manusia tak lagi bisa diharapkan untuk hidup, seperti aku, yang tidak lagi menjadi manusia layak bagi mereka hingga dewa maut kasihan dan segera datang menjemputku. Aku sangat takut untuk mati, mati bagiku adalah sebuah penderitaan, tak lagi ada teman, tak lagi susu, sate, dan semua yang aku sukai. Gelap. Hal itulah yang terlintas dan terbayang.

Kaki kiriku tak laki bisa diharapkan, peluru panas itu menghujam dan mematikan urat sarafku. Tubuh ku seret dengan tangan, makin hancur tubuh ini, ranting-ranting menusuk, menggores. Ku hanya ingin cepat berakhir, walau aku juga berharap untuk hidup, tapi bukan dengan pertolongan mereka, tak sudi bila harga diriku juga hancur seperti tubuh ini. Biarlah salah satunya hancur dan lainnya utuh. Suara derap kaki datang, sangat banyak dan mengepung tempat, kusenderkan tubuh dibelakang pohon besar yang membentuk lorong kecil diatara akar besarnya hingga bisa kurebahkan diriku didalamnya. Bukan pasrah, aku tidak mau pasrah, hanya pada Tuhan aku khan pasrah, dengan mereka aku harus tetap awas, sembunyi. Derap semakin dekat, nafasku terdengar seperti bom beruntun yang aku sendiri takut bila terdengar. Kaki mereka terlihat di depanku, tapi mereka belum menemukanku, tubuh telanjang ini telah gelap bersama tanah dan lumpur selama pelarian, keuntungan atau keberuntungan bisa menunda mereka menemukanku.

Lelah mulai kurasakan, aku lihat warna-warni diatas, gelombang pantai, sejuknya pegunungan, indahnya taman, sungguh mempesona. Aku sudah lelah dengan semua ini, lelah menjalani, lelah menunggu, lelah mengharap, tapi aku tidak menyerah, aku hanya curhat dengan Tuhanku, setidaknya memang benar ada Dia khan mendengar peluhku. Dia tak akan memaafkan orang-orang kolot itu, yang mengaku taat tapi mereka taat pada seseorang bukan Tuhan, aku patuh padamu Tuhan. Bisakah kau beri tempat yang nyaman setelah ini, untuk manusia ciptaanmu ini. Bayang-banyang indah mulai mereduo, bersama kesadaranku, tak tahu mengapa, mungkin ada peluru menembus otakku, mungkin ada batang senjata yang dipukulkan ke kepalaku, atau mereka telah menemukanku dan menyeretku. Aku tak peduli lagi, aku telah mati-matian berjuang, dan ini patut mendapa nilai yang besar, nilai untuk seorang manusia yang telah menjadi manusia sesungguhnya, yang menentukan pilihannya.

Minggu, 11 April 2010

Pilihan dan Pilihlah!

Kita tidak ada yang tahu apa yang terjadi sebelum kita menjadi seorang bayi manusia, apakah dulu jiwa atau roh kita telah mengadakan perjanjian tentang apa dan bagaimana kita di dunia ini? Mungkinkah hal itu yang mereka sebut sebagai suratan takdir? Tapi yang jelas, berdasarkan pengalaman yang telah aku alami sebagi proses, sesuatu hal itu adalah kembali kebagi masing-masing subyek. Artinya, bisa atau tidak, berhasil atau tidak, semua itu kembali kediri kita masing-masing.

Dulu sekali, sewaktu masih SMA, seorang teman yang hidup dari keluarga sederhana mengatakan kepadaku, bahwa dia tidak percaya apa itu takdir, takdir adalah kita, dan kitalah yang harus merubahnya. Tetapi hal itu dia muali pungkiri setelah beberapa tahun sesudahnya. Sore itu disebuah persawahan kampung dia mulai menyerah dengan takdirnya, mungkin memang benar takdir bila aku seorang anak petani biasa aku harus menjadi petani. Nada putus asanya keluar, nada yang sangat aku benci. Dia melanjutka, dia takut, sangat takut, untuk berusaha lebih keras (selama ini dia telah berusaha) bila hasilnya malah akan menghancurkanku dalam kegilaan mimpi-mimpi. Dia sudah muak dengan hidupnya, dengan pikirannya, dengan dunianya, “mungkin saatnya aku sadar dan menerima takdirku ini sebagai mana mestinya”.

Setelah percakapan itu kami seperti melupakannya, semua berjalan seperti biasa, santai bareng, sharing bareng, diskusi bareng, dan berdebat bareng dengan teman-teman kampung lainnya. Memang satu yang aku salutin, walau kebanyakan dari mereka adalah anak tak berpunya, tapi semangat dan pikiran tidaklah seperti kebanyakan pemuda kampung.

Hari ini aku membeli sandal, ternyata sangat susah mencari sandal di dengan ukuran kakiku yang besar (ukuran 44), semua yang aku suka hanya berukuran 43, mungkin memang bukan saatnya membeli sandal pikirku. Perhitunganku, daripada aku mengeluarkan kocek 150 ribu keatas untuk membeli sandal yang ukurannya kurang pas mending aku tahan dulu. Ternyata ada sebuah sandal yang lumayan bagus dengan harga lumayan murah (50ribuan), tetapi lagi-lagi ukurannya mentok 43. Oh kejamnya produsen sandal. Dengan sedikit perhitungan, maka aku putuskan untuk membeli sandal tersebut, walau kurang sedikit pas tapi lumayan nyaman dan aku tidak perlu mengeluarkan uang yang banyak.

Dari contoh diatas hal yang ingin aku uraikan adalah dalam menjalani hidup selalu ada pilihan, hidup memang bukan pilihan, tetapi dalam hidup kita selalu punya pilihan. Bukankah kita punya pikiran yang menandakan kita adalah manusia, mahluk yang bisa memilih, merasa dan berakal dalam menjalani hidup. Cogitu ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Itulah yang dikatakan Descartes. Pilihan bukan hanya “ya” atau “tidak”, tetapi bisa diantara keduannya, tergantung dari point of view. Juga bukan hanya “benar” atau “salah” tetapi diantaranya. Apakah salah jika temanku memilih kehidupannya sedemikian?apakah benar jika aku membeli sandal tersebut?. Mari kita diskusikan kedua contoh tersebut.

Temanku sangat antusias memandang hidup dan yakin bahwa dia dapat merubah takdirnya, pastinya dia juga berusaha untuk tetap merubah takdirnya tersebut, bahkan dia juga mempunyai banyak mimpi.

Temanku setelah beberapa tahun memutar balik haluannya, dia sangat pesimis, skeptisme telah melahapnya dalam dunia yang mengerikan, hingga dia tak berani lagi bermimpi, apalagi berusaha mengubah takdirnya.

Keadaan pertama, dia “benar” karena dia sebagai manusia harus tetap yakin dan berusaha, bukankah dalam agama telah dijelaskan “Tuhan tidak akan merubah suatu kaum bila mereka tidak berusaha merubahnya”. Tetapi dia “salah” dilihat dari sudut pandang masyarakat setempat, bahwa sebagai seorang anak petani biasa yang untuk menguliahkan saja tidak sanggup dia berani bermimpi yang sangat muluk-muluk, hanya membuang-buang waktu, pokonya kerja dan kerja.

Keadaan yang kedua, dia “benar” karena dengan mengikuti pandangan masyarakat (termasuk orang tuanya) dia dapat mengisi perutnya, bahkan bisa dibilang dia telah sadar akan status sosialnya. Tetapi dia “salah” karena menyia-nyiakan mimpinya, bukankah semua orang punya mimpi dan berhak untuk meperjuangkannya, bukankah hidup ini tak lebih dari perjuangan, bahkan menurut Marx, untuk mencapai tahap yang lebih tinggi dari suatu masyarakat maka selalu ada perjuangan kelas didalamnya.

Berlanjut ke keadaan kedua dimana saat aku membeli sandal, antara “ya” atau “tidak”.

Pertama bila aku mebeli sandal yang aku inginkan (“ya”) maka aku telah mengeluarkan uang untuk sandal yang tidak pas dengan kakinya, tetapi bila tidak membeli (“tidak”) maka aku tak tahu apakah aku akan membeli sandal, melihat aku tidak terlalu pandai memanage uang.

Akhirnya aku memilih “diantaranya”, yakni aku membeli (“ya”) sebuah sandal tetap sandal yang lain (“tidak”) dengan memperhatikan faktor keadaan dan peluang. Artinya, aku memang tidak memiliki sandal yang aku inginkan, tetapi aku bisa memiliki sandal yang lumayan, dan selain itu aku memiliki sisa uang belanja yang bisa subtitusikan ke barang lain, dan saat aku mempunyai uang lagi aku tinggal membeli sandal yang aku inginkan (bila mendapat ukuran yang pas) lain waktu. Berarti selalu ada pilihan antara “ya” atau “tidak” melihat keadaan dan peluangnya.

Dalam diskusi diatas suatu hal “benar” atau “salah” dimana dalam kehidupan kita selalu dibentrokan antara dua sisi, dua pilihan. “Benar” adalah benar bila ada “salah”, dan “salah” adalah benar bila ada “benar”. Keduanya berhubungan dan tidak bisa dipisahkan, kontradiktif, tetapi tidak defititif. Artinya kita selalu punya pilihan relatif, baik dalam presepsi maupun implementasi, entah kita mencomot “benar” dari presepsi mana (tidak termasuk kedalam “benar” atau “salah” dalam presepsi awal), ataupun salah dari presepsi yang lain. Initinya dalam konteks dan ruang apa, lalu bagaimana?

Selain itu juga ada “ya” atau “tidak”, yakni dalam menentukan suatu pilihan sepatu diatas ada jalan alternatif, tetapi tetap menggunakan perhitungan. Pilihan diantaranya adalah keputusan dari pada “ya” tetapi menyesal, atau “tidak” tetapi juga menyesal. Alternatif seperti itu bisa sangat membantu, yakni janganlah otak kita selalu terdikte antara “ya” atau “tidak”, tetapi melihat diantara.

Dalam hidup selalu ada pilihan dalam menjalaninya, bagaimana kita berani bertaruh untuk mengambil resikonya atau tidak, mencoba bukanlah hal yang “lumrah” dalam hidup, tetapi berani dan yakin. Pernah aku bilang kepada seorang teman hidup tak lebih dari sebuah permainan, antara menang, kalah, atau seri. Menang ada bila ada kalah, seri berarti penundaan (bukan sia-sia, menurutku tak ada yang sia-sia dalam hidup, semua bermakna bila kita benar-benar melihatnya), juga teringat kata temanku saat ada temanku yang lainnya menyarahkan hasil tulisannya ke temanku tadi, dia bilang “maaf ya klo hasilnya jelek”, lalu temanku yang satunya menjawab, “bukankah lebih baik kita bisa menilai bagus apa jelek daripada tidak sama sekali”. Permainan ini haruslah kita selesaikan, sampai game over, jangan terlalu tegang, terlalu serius, karena akibatnya sangat fatal (depresi, stres, gila).

Jadi apapun pilihanmu tetap jalani hari-harimu dengan senyum lebar, menang-kalah, konflik, benar-salah, iya-tidak, kontra-pro, adalah biasa, tinggal bagaimana kita menikmati prosesnya, berani menjalani prosesnya, menentukan pilihan langkah dalam setiap prosesnya, dan bagaimana kita menikmatinya, So, nikamti semua harimu kawan!.

Kamis, 01 April 2010

century lagi....antasari lagi.....

menganalisa fenomena yg terjadi belakangan ini cukup menggelikan. isue yang berkembang didinamika masyarakat kita tendensinya kearah "birokrasi" yang notabenenya mayoritas masyarakatsendiri susah untuk menangkap dan memahaminya. Mengapa ini yang terjadi, bukan kapasitasnyatetapi sangat dipaksakan.Bolak-balik ganti chanel yang keluar dan selalu diexpose hanya century danantasari? yang lebih menggelikan obrolan masyarakat juga masalah itu,bukankah masih banyakpersoalan lain yang langsung menyentuh wilayah struktural masyarakat yang perlu mendapat perhatian. Televisi sebagai media masa yang paling mudah diakses seluruh manyasarat menjadi alat ampuh untukmembentuk dan menciptakan" opini publik,lalu hegemonillah yang terjadi. Telusur punya telusurmayoritas stasiun TV adalah milik orang2 birokrasi yang pastinya mempunyai kepentingan dalammemberikan tayangan maupun berita untuk masyarakat. Independensi semakin direduksikan ketitiknol.

Tak luput, kaum intelektual juga menyoroti hal serupa. aksi demonstrasi sebagai transformasi sepertiyg kita lihat juga menyoroti hal tersebut. Melihat dari kaca mata bawah,maka hal itu tidak perlu terlaluintens untuk dilakukan,karena menurut analis pribadi saya melihat keadaan kursi kekuasaan birokrasisemakin memanas dan moment ini menjadi ajang penjatuhan dan penaikan nama tokoh guna mencarisela kekuasaan. Serangan sesungguhnya ditujukan kepada publik,karena mereka sendiri sangat sadarbahwa dengan mempengaruhi publik kekuasaan bisa direbut.Entah apalagi setelah century dan antasri.

Meninjau hal lainyang lebih mengena lapisan struktural, masyarakat sepertinya lupa akan banyaknyakebijakan yang masih merugikan mereka. Ambil contoh tentang rencana "RUU Kepemilikan Property" dan "Food Estate" ditambah lagi tentang AC AFTA. Bukannkah dampaknya akan sangat mempengaruhinilai kerja masyarakat bawah. mayoritas masyarakat butuh sebuah pembelajaran lagi tentangpentingnya partisipasi terhadap negara dengan mempengaruhi setiap kebijakan yang selaluberhubungan dengan mereka. Yang saya takutkan apabila fenomena yang di expose di televisi semakinmembuat ambiguitas presepsi publik hingga mereka tidak kuat menganalisis secara rasional isu yang berkembang ( century dan maslah birokrasi lainnya yang masyarakt rendah "mayoritas" tidak bisamemahminya) maka apatisme akan tercipta juga terhadap isue2 lain walalupun hal itu menyangkutatau untuk mereka. Dan dengan mudah mereka mengatakan "itu urusan negara bukan urusanku".

disini perlu diperjelas apakah itu "negara" yakni sebagai kesatuan hubungan yang merangkumwilayah,masyarakat dan sekaligus pemerintahannya dan terjalin inheren seca timbal balik. danmasyarakat adalah negara. seperti yang diungkapkan JJ. Rosseu dalam "kontrak sosial" apabilasebuah masyarakat yang tidak lagi memikirkan negaranya yakni memisahkan dari kepentinganpolitiknya sebagai warga negara maka negara tersebut sebenarnya telah "hilang".

Disini juga saya berusaha menyikapi fungsi LSM yang seharusnya dapat memberikan sosialisasi kepadapublik dan menjadi pelindung publik.Ditambah lagi fungsi dan peran dinas sebagai penyuluh yang dirasa sangatlah kurang (melihat realitas yang ada,masyarakat mayoritas kurang mengerti). mungkinharapan yang bisa dilakukan dengan peran kaum intelektual untuk membantu transformasi sosialnyakearah struktural yakni membangkitkan kesadaran mereka akan fungsi dan peran politiknya diranahbirokrasi.Saya rasa, apabila banyak masyarakat yang sudah paham,maka negara ini bisa dibanggakansebagai "negara yang kaya akan sumber alam dan manusia yang progresif". demokrasi representatifjuga akan memberikan ruang partisipatoris secara inklusif antara penguasa dan rakyat. korupsi jugatentunya adakan terhempas ketitik nol bila keintelektualan masyarakat telah berkolaborasi dengankeberaniannya.

dari sedikit penjelasan sudah tentu bisa dilihat bhwa isu yang berkembang juga pastilah melewatitahap konspirasi politik atas. Teliti lebih lanjut, dalam isu tersebut sensasi baru sering muncul danseperti mudah untuk dibuat. Apkah menjamin apabila uang dari kasus century itu nantinya juga pastibenar2 digunakan untuk rakyat? dan mereka yang berada di layar kaca dengan mudah bilang "inisuara rakyat", rakyat yang mana??? mereka ngerti g yang terjadi??ada apa dibalik fenomenaini??itu;lah yang perlu disikapi??ambiguitas yang tercipta harus dipatahkan lewat pemahaman analisismendalam.tidak hanya aksi reaksioner,tetapi lebih pada refleksi dengan melihat kajian empiris dandialektika sosial yang terbentuk.semoga bermanfaat.

*sebuah opini "



Senin, 12 April 2010

Tiga Sudut

Semua menjad sangat kelabu, saat kehidupan mencampakkanmu dari ruangnya. Tidak ada yang seperti ini sebelumnya, bahkan tak pernah juga terpikirkan. Serasa mati, tak ada arti, hanya yang mengalami yang bisa merasakan pedihnya. Untuk melanjutkan tak ada harapan, hanya berhenti, tertegun, dan terpelanting kebelakang menerima kenyataan yang pahit.

Matanya nanar menerawang kesegala penjuru, dingin angin malam menjilati tubuhnya yang telanjang, bahkan kulitpun sobek sana sini mengeluarkan darah kental dan mengumpal bersama darah putih. Unutk merasakan lelah pun takut, sakit seperti tak ada, untuk apa memikirkannya jika sudah sadar nyawa tak lagi bisa dipertahankan. Tak ada lagi pemaknaan hidup selama ini karna terlalu cepat dan tak terencanakan, terlalu cepat akan berahir, memohon tak lagi punya tempat. Tuhan, ini kehendak Tuhan. Tapi apakah kejendak Tuhan bila ketidakadilan yang dirasakan, bagaimana menjelaskannya? Tuhan seperti membisu, setan pun tidak ada yang mendekat untuk menawarka keselamatan hidup.

Suara desingan peluru tak henti-henti bernyanyi dibelakang, beruntun, bersaing, seperti racikan musik okrestra oleh komposer. Jalan hutan yang gelap ini bisa jadi adalah tempat terakhir dalam hidup, setidaknya lebih baik jika harus mengakhiri hidup di penampungan yang kumuh dan kotor itu. Mereka adalah budak-budak tak beradap, yang hidup dalam kebodohan dan doktrin sesat, tak ada bedanya dengan anjing yang mengekor di pantat majikannya. Lalu untuk apakah mereka hidup, bila hanya menjadi ternak-ternak peliharaan, tidak seperti layaknya manusia, yang hidup, berpikir, perasa, dan punya pilihan. Akulah yang kabur dari mereka, dengan telanjang, suci dan murni. Tidak ada yang bisa menghalangiku untuk bebas, walau matipun akan aku pertaruhkan. Mati memang begitu menakutkan, tetapi juga menggoda, dewa kematian adalah penjagaga dari kebiadapan dunia, saat manusia tak lagi bisa diharapkan untuk hidup, seperti aku, yang tidak lagi menjadi manusia layak bagi mereka hingga dewa maut kasihan dan segera datang menjemputku. Aku sangat takut untuk mati, mati bagiku adalah sebuah penderitaan, tak lagi ada teman, tak lagi susu, sate, dan semua yang aku sukai. Gelap. Hal itulah yang terlintas dan terbayang.

Kaki kiriku tak laki bisa diharapkan, peluru panas itu menghujam dan mematikan urat sarafku. Tubuh ku seret dengan tangan, makin hancur tubuh ini, ranting-ranting menusuk, menggores. Ku hanya ingin cepat berakhir, walau aku juga berharap untuk hidup, tapi bukan dengan pertolongan mereka, tak sudi bila harga diriku juga hancur seperti tubuh ini. Biarlah salah satunya hancur dan lainnya utuh. Suara derap kaki datang, sangat banyak dan mengepung tempat, kusenderkan tubuh dibelakang pohon besar yang membentuk lorong kecil diatara akar besarnya hingga bisa kurebahkan diriku didalamnya. Bukan pasrah, aku tidak mau pasrah, hanya pada Tuhan aku khan pasrah, dengan mereka aku harus tetap awas, sembunyi. Derap semakin dekat, nafasku terdengar seperti bom beruntun yang aku sendiri takut bila terdengar. Kaki mereka terlihat di depanku, tapi mereka belum menemukanku, tubuh telanjang ini telah gelap bersama tanah dan lumpur selama pelarian, keuntungan atau keberuntungan bisa menunda mereka menemukanku.

Lelah mulai kurasakan, aku lihat warna-warni diatas, gelombang pantai, sejuknya pegunungan, indahnya taman, sungguh mempesona. Aku sudah lelah dengan semua ini, lelah menjalani, lelah menunggu, lelah mengharap, tapi aku tidak menyerah, aku hanya curhat dengan Tuhanku, setidaknya memang benar ada Dia khan mendengar peluhku. Dia tak akan memaafkan orang-orang kolot itu, yang mengaku taat tapi mereka taat pada seseorang bukan Tuhan, aku patuh padamu Tuhan. Bisakah kau beri tempat yang nyaman setelah ini, untuk manusia ciptaanmu ini. Bayang-banyang indah mulai mereduo, bersama kesadaranku, tak tahu mengapa, mungkin ada peluru menembus otakku, mungkin ada batang senjata yang dipukulkan ke kepalaku, atau mereka telah menemukanku dan menyeretku. Aku tak peduli lagi, aku telah mati-matian berjuang, dan ini patut mendapa nilai yang besar, nilai untuk seorang manusia yang telah menjadi manusia sesungguhnya, yang menentukan pilihannya.

Minggu, 11 April 2010

Pilihan dan Pilihlah!

Kita tidak ada yang tahu apa yang terjadi sebelum kita menjadi seorang bayi manusia, apakah dulu jiwa atau roh kita telah mengadakan perjanjian tentang apa dan bagaimana kita di dunia ini? Mungkinkah hal itu yang mereka sebut sebagai suratan takdir? Tapi yang jelas, berdasarkan pengalaman yang telah aku alami sebagi proses, sesuatu hal itu adalah kembali kebagi masing-masing subyek. Artinya, bisa atau tidak, berhasil atau tidak, semua itu kembali kediri kita masing-masing.

Dulu sekali, sewaktu masih SMA, seorang teman yang hidup dari keluarga sederhana mengatakan kepadaku, bahwa dia tidak percaya apa itu takdir, takdir adalah kita, dan kitalah yang harus merubahnya. Tetapi hal itu dia muali pungkiri setelah beberapa tahun sesudahnya. Sore itu disebuah persawahan kampung dia mulai menyerah dengan takdirnya, mungkin memang benar takdir bila aku seorang anak petani biasa aku harus menjadi petani. Nada putus asanya keluar, nada yang sangat aku benci. Dia melanjutka, dia takut, sangat takut, untuk berusaha lebih keras (selama ini dia telah berusaha) bila hasilnya malah akan menghancurkanku dalam kegilaan mimpi-mimpi. Dia sudah muak dengan hidupnya, dengan pikirannya, dengan dunianya, “mungkin saatnya aku sadar dan menerima takdirku ini sebagai mana mestinya”.

Setelah percakapan itu kami seperti melupakannya, semua berjalan seperti biasa, santai bareng, sharing bareng, diskusi bareng, dan berdebat bareng dengan teman-teman kampung lainnya. Memang satu yang aku salutin, walau kebanyakan dari mereka adalah anak tak berpunya, tapi semangat dan pikiran tidaklah seperti kebanyakan pemuda kampung.

Hari ini aku membeli sandal, ternyata sangat susah mencari sandal di dengan ukuran kakiku yang besar (ukuran 44), semua yang aku suka hanya berukuran 43, mungkin memang bukan saatnya membeli sandal pikirku. Perhitunganku, daripada aku mengeluarkan kocek 150 ribu keatas untuk membeli sandal yang ukurannya kurang pas mending aku tahan dulu. Ternyata ada sebuah sandal yang lumayan bagus dengan harga lumayan murah (50ribuan), tetapi lagi-lagi ukurannya mentok 43. Oh kejamnya produsen sandal. Dengan sedikit perhitungan, maka aku putuskan untuk membeli sandal tersebut, walau kurang sedikit pas tapi lumayan nyaman dan aku tidak perlu mengeluarkan uang yang banyak.

Dari contoh diatas hal yang ingin aku uraikan adalah dalam menjalani hidup selalu ada pilihan, hidup memang bukan pilihan, tetapi dalam hidup kita selalu punya pilihan. Bukankah kita punya pikiran yang menandakan kita adalah manusia, mahluk yang bisa memilih, merasa dan berakal dalam menjalani hidup. Cogitu ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Itulah yang dikatakan Descartes. Pilihan bukan hanya “ya” atau “tidak”, tetapi bisa diantara keduannya, tergantung dari point of view. Juga bukan hanya “benar” atau “salah” tetapi diantaranya. Apakah salah jika temanku memilih kehidupannya sedemikian?apakah benar jika aku membeli sandal tersebut?. Mari kita diskusikan kedua contoh tersebut.

Temanku sangat antusias memandang hidup dan yakin bahwa dia dapat merubah takdirnya, pastinya dia juga berusaha untuk tetap merubah takdirnya tersebut, bahkan dia juga mempunyai banyak mimpi.

Temanku setelah beberapa tahun memutar balik haluannya, dia sangat pesimis, skeptisme telah melahapnya dalam dunia yang mengerikan, hingga dia tak berani lagi bermimpi, apalagi berusaha mengubah takdirnya.

Keadaan pertama, dia “benar” karena dia sebagai manusia harus tetap yakin dan berusaha, bukankah dalam agama telah dijelaskan “Tuhan tidak akan merubah suatu kaum bila mereka tidak berusaha merubahnya”. Tetapi dia “salah” dilihat dari sudut pandang masyarakat setempat, bahwa sebagai seorang anak petani biasa yang untuk menguliahkan saja tidak sanggup dia berani bermimpi yang sangat muluk-muluk, hanya membuang-buang waktu, pokonya kerja dan kerja.

Keadaan yang kedua, dia “benar” karena dengan mengikuti pandangan masyarakat (termasuk orang tuanya) dia dapat mengisi perutnya, bahkan bisa dibilang dia telah sadar akan status sosialnya. Tetapi dia “salah” karena menyia-nyiakan mimpinya, bukankah semua orang punya mimpi dan berhak untuk meperjuangkannya, bukankah hidup ini tak lebih dari perjuangan, bahkan menurut Marx, untuk mencapai tahap yang lebih tinggi dari suatu masyarakat maka selalu ada perjuangan kelas didalamnya.

Berlanjut ke keadaan kedua dimana saat aku membeli sandal, antara “ya” atau “tidak”.

Pertama bila aku mebeli sandal yang aku inginkan (“ya”) maka aku telah mengeluarkan uang untuk sandal yang tidak pas dengan kakinya, tetapi bila tidak membeli (“tidak”) maka aku tak tahu apakah aku akan membeli sandal, melihat aku tidak terlalu pandai memanage uang.

Akhirnya aku memilih “diantaranya”, yakni aku membeli (“ya”) sebuah sandal tetap sandal yang lain (“tidak”) dengan memperhatikan faktor keadaan dan peluang. Artinya, aku memang tidak memiliki sandal yang aku inginkan, tetapi aku bisa memiliki sandal yang lumayan, dan selain itu aku memiliki sisa uang belanja yang bisa subtitusikan ke barang lain, dan saat aku mempunyai uang lagi aku tinggal membeli sandal yang aku inginkan (bila mendapat ukuran yang pas) lain waktu. Berarti selalu ada pilihan antara “ya” atau “tidak” melihat keadaan dan peluangnya.

Dalam diskusi diatas suatu hal “benar” atau “salah” dimana dalam kehidupan kita selalu dibentrokan antara dua sisi, dua pilihan. “Benar” adalah benar bila ada “salah”, dan “salah” adalah benar bila ada “benar”. Keduanya berhubungan dan tidak bisa dipisahkan, kontradiktif, tetapi tidak defititif. Artinya kita selalu punya pilihan relatif, baik dalam presepsi maupun implementasi, entah kita mencomot “benar” dari presepsi mana (tidak termasuk kedalam “benar” atau “salah” dalam presepsi awal), ataupun salah dari presepsi yang lain. Initinya dalam konteks dan ruang apa, lalu bagaimana?

Selain itu juga ada “ya” atau “tidak”, yakni dalam menentukan suatu pilihan sepatu diatas ada jalan alternatif, tetapi tetap menggunakan perhitungan. Pilihan diantaranya adalah keputusan dari pada “ya” tetapi menyesal, atau “tidak” tetapi juga menyesal. Alternatif seperti itu bisa sangat membantu, yakni janganlah otak kita selalu terdikte antara “ya” atau “tidak”, tetapi melihat diantara.

Dalam hidup selalu ada pilihan dalam menjalaninya, bagaimana kita berani bertaruh untuk mengambil resikonya atau tidak, mencoba bukanlah hal yang “lumrah” dalam hidup, tetapi berani dan yakin. Pernah aku bilang kepada seorang teman hidup tak lebih dari sebuah permainan, antara menang, kalah, atau seri. Menang ada bila ada kalah, seri berarti penundaan (bukan sia-sia, menurutku tak ada yang sia-sia dalam hidup, semua bermakna bila kita benar-benar melihatnya), juga teringat kata temanku saat ada temanku yang lainnya menyarahkan hasil tulisannya ke temanku tadi, dia bilang “maaf ya klo hasilnya jelek”, lalu temanku yang satunya menjawab, “bukankah lebih baik kita bisa menilai bagus apa jelek daripada tidak sama sekali”. Permainan ini haruslah kita selesaikan, sampai game over, jangan terlalu tegang, terlalu serius, karena akibatnya sangat fatal (depresi, stres, gila).

Jadi apapun pilihanmu tetap jalani hari-harimu dengan senyum lebar, menang-kalah, konflik, benar-salah, iya-tidak, kontra-pro, adalah biasa, tinggal bagaimana kita menikmati prosesnya, berani menjalani prosesnya, menentukan pilihan langkah dalam setiap prosesnya, dan bagaimana kita menikmatinya, So, nikamti semua harimu kawan!.

Kamis, 01 April 2010

century lagi....antasari lagi.....

menganalisa fenomena yg terjadi belakangan ini cukup menggelikan. isue yang berkembang didinamika masyarakat kita tendensinya kearah "birokrasi" yang notabenenya mayoritas masyarakatsendiri susah untuk menangkap dan memahaminya. Mengapa ini yang terjadi, bukan kapasitasnyatetapi sangat dipaksakan.Bolak-balik ganti chanel yang keluar dan selalu diexpose hanya century danantasari? yang lebih menggelikan obrolan masyarakat juga masalah itu,bukankah masih banyakpersoalan lain yang langsung menyentuh wilayah struktural masyarakat yang perlu mendapat perhatian. Televisi sebagai media masa yang paling mudah diakses seluruh manyasarat menjadi alat ampuh untukmembentuk dan menciptakan" opini publik,lalu hegemonillah yang terjadi. Telusur punya telusurmayoritas stasiun TV adalah milik orang2 birokrasi yang pastinya mempunyai kepentingan dalammemberikan tayangan maupun berita untuk masyarakat. Independensi semakin direduksikan ketitiknol.

Tak luput, kaum intelektual juga menyoroti hal serupa. aksi demonstrasi sebagai transformasi sepertiyg kita lihat juga menyoroti hal tersebut. Melihat dari kaca mata bawah,maka hal itu tidak perlu terlaluintens untuk dilakukan,karena menurut analis pribadi saya melihat keadaan kursi kekuasaan birokrasisemakin memanas dan moment ini menjadi ajang penjatuhan dan penaikan nama tokoh guna mencarisela kekuasaan. Serangan sesungguhnya ditujukan kepada publik,karena mereka sendiri sangat sadarbahwa dengan mempengaruhi publik kekuasaan bisa direbut.Entah apalagi setelah century dan antasri.

Meninjau hal lainyang lebih mengena lapisan struktural, masyarakat sepertinya lupa akan banyaknyakebijakan yang masih merugikan mereka. Ambil contoh tentang rencana "RUU Kepemilikan Property" dan "Food Estate" ditambah lagi tentang AC AFTA. Bukannkah dampaknya akan sangat mempengaruhinilai kerja masyarakat bawah. mayoritas masyarakat butuh sebuah pembelajaran lagi tentangpentingnya partisipasi terhadap negara dengan mempengaruhi setiap kebijakan yang selaluberhubungan dengan mereka. Yang saya takutkan apabila fenomena yang di expose di televisi semakinmembuat ambiguitas presepsi publik hingga mereka tidak kuat menganalisis secara rasional isu yang berkembang ( century dan maslah birokrasi lainnya yang masyarakt rendah "mayoritas" tidak bisamemahminya) maka apatisme akan tercipta juga terhadap isue2 lain walalupun hal itu menyangkutatau untuk mereka. Dan dengan mudah mereka mengatakan "itu urusan negara bukan urusanku".

disini perlu diperjelas apakah itu "negara" yakni sebagai kesatuan hubungan yang merangkumwilayah,masyarakat dan sekaligus pemerintahannya dan terjalin inheren seca timbal balik. danmasyarakat adalah negara. seperti yang diungkapkan JJ. Rosseu dalam "kontrak sosial" apabilasebuah masyarakat yang tidak lagi memikirkan negaranya yakni memisahkan dari kepentinganpolitiknya sebagai warga negara maka negara tersebut sebenarnya telah "hilang".

Disini juga saya berusaha menyikapi fungsi LSM yang seharusnya dapat memberikan sosialisasi kepadapublik dan menjadi pelindung publik.Ditambah lagi fungsi dan peran dinas sebagai penyuluh yang dirasa sangatlah kurang (melihat realitas yang ada,masyarakat mayoritas kurang mengerti). mungkinharapan yang bisa dilakukan dengan peran kaum intelektual untuk membantu transformasi sosialnyakearah struktural yakni membangkitkan kesadaran mereka akan fungsi dan peran politiknya diranahbirokrasi.Saya rasa, apabila banyak masyarakat yang sudah paham,maka negara ini bisa dibanggakansebagai "negara yang kaya akan sumber alam dan manusia yang progresif". demokrasi representatifjuga akan memberikan ruang partisipatoris secara inklusif antara penguasa dan rakyat. korupsi jugatentunya adakan terhempas ketitik nol bila keintelektualan masyarakat telah berkolaborasi dengankeberaniannya.

dari sedikit penjelasan sudah tentu bisa dilihat bhwa isu yang berkembang juga pastilah melewatitahap konspirasi politik atas. Teliti lebih lanjut, dalam isu tersebut sensasi baru sering muncul danseperti mudah untuk dibuat. Apkah menjamin apabila uang dari kasus century itu nantinya juga pastibenar2 digunakan untuk rakyat? dan mereka yang berada di layar kaca dengan mudah bilang "inisuara rakyat", rakyat yang mana??? mereka ngerti g yang terjadi??ada apa dibalik fenomenaini??itu;lah yang perlu disikapi??ambiguitas yang tercipta harus dipatahkan lewat pemahaman analisismendalam.tidak hanya aksi reaksioner,tetapi lebih pada refleksi dengan melihat kajian empiris dandialektika sosial yang terbentuk.semoga bermanfaat.

*sebuah opini "