Minggu, 11 April 2010

Pilihan dan Pilihlah!

Kita tidak ada yang tahu apa yang terjadi sebelum kita menjadi seorang bayi manusia, apakah dulu jiwa atau roh kita telah mengadakan perjanjian tentang apa dan bagaimana kita di dunia ini? Mungkinkah hal itu yang mereka sebut sebagai suratan takdir? Tapi yang jelas, berdasarkan pengalaman yang telah aku alami sebagi proses, sesuatu hal itu adalah kembali kebagi masing-masing subyek. Artinya, bisa atau tidak, berhasil atau tidak, semua itu kembali kediri kita masing-masing.

Dulu sekali, sewaktu masih SMA, seorang teman yang hidup dari keluarga sederhana mengatakan kepadaku, bahwa dia tidak percaya apa itu takdir, takdir adalah kita, dan kitalah yang harus merubahnya. Tetapi hal itu dia muali pungkiri setelah beberapa tahun sesudahnya. Sore itu disebuah persawahan kampung dia mulai menyerah dengan takdirnya, mungkin memang benar takdir bila aku seorang anak petani biasa aku harus menjadi petani. Nada putus asanya keluar, nada yang sangat aku benci. Dia melanjutka, dia takut, sangat takut, untuk berusaha lebih keras (selama ini dia telah berusaha) bila hasilnya malah akan menghancurkanku dalam kegilaan mimpi-mimpi. Dia sudah muak dengan hidupnya, dengan pikirannya, dengan dunianya, “mungkin saatnya aku sadar dan menerima takdirku ini sebagai mana mestinya”.

Setelah percakapan itu kami seperti melupakannya, semua berjalan seperti biasa, santai bareng, sharing bareng, diskusi bareng, dan berdebat bareng dengan teman-teman kampung lainnya. Memang satu yang aku salutin, walau kebanyakan dari mereka adalah anak tak berpunya, tapi semangat dan pikiran tidaklah seperti kebanyakan pemuda kampung.

Hari ini aku membeli sandal, ternyata sangat susah mencari sandal di dengan ukuran kakiku yang besar (ukuran 44), semua yang aku suka hanya berukuran 43, mungkin memang bukan saatnya membeli sandal pikirku. Perhitunganku, daripada aku mengeluarkan kocek 150 ribu keatas untuk membeli sandal yang ukurannya kurang pas mending aku tahan dulu. Ternyata ada sebuah sandal yang lumayan bagus dengan harga lumayan murah (50ribuan), tetapi lagi-lagi ukurannya mentok 43. Oh kejamnya produsen sandal. Dengan sedikit perhitungan, maka aku putuskan untuk membeli sandal tersebut, walau kurang sedikit pas tapi lumayan nyaman dan aku tidak perlu mengeluarkan uang yang banyak.

Dari contoh diatas hal yang ingin aku uraikan adalah dalam menjalani hidup selalu ada pilihan, hidup memang bukan pilihan, tetapi dalam hidup kita selalu punya pilihan. Bukankah kita punya pikiran yang menandakan kita adalah manusia, mahluk yang bisa memilih, merasa dan berakal dalam menjalani hidup. Cogitu ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Itulah yang dikatakan Descartes. Pilihan bukan hanya “ya” atau “tidak”, tetapi bisa diantara keduannya, tergantung dari point of view. Juga bukan hanya “benar” atau “salah” tetapi diantaranya. Apakah salah jika temanku memilih kehidupannya sedemikian?apakah benar jika aku membeli sandal tersebut?. Mari kita diskusikan kedua contoh tersebut.

Temanku sangat antusias memandang hidup dan yakin bahwa dia dapat merubah takdirnya, pastinya dia juga berusaha untuk tetap merubah takdirnya tersebut, bahkan dia juga mempunyai banyak mimpi.

Temanku setelah beberapa tahun memutar balik haluannya, dia sangat pesimis, skeptisme telah melahapnya dalam dunia yang mengerikan, hingga dia tak berani lagi bermimpi, apalagi berusaha mengubah takdirnya.

Keadaan pertama, dia “benar” karena dia sebagai manusia harus tetap yakin dan berusaha, bukankah dalam agama telah dijelaskan “Tuhan tidak akan merubah suatu kaum bila mereka tidak berusaha merubahnya”. Tetapi dia “salah” dilihat dari sudut pandang masyarakat setempat, bahwa sebagai seorang anak petani biasa yang untuk menguliahkan saja tidak sanggup dia berani bermimpi yang sangat muluk-muluk, hanya membuang-buang waktu, pokonya kerja dan kerja.

Keadaan yang kedua, dia “benar” karena dengan mengikuti pandangan masyarakat (termasuk orang tuanya) dia dapat mengisi perutnya, bahkan bisa dibilang dia telah sadar akan status sosialnya. Tetapi dia “salah” karena menyia-nyiakan mimpinya, bukankah semua orang punya mimpi dan berhak untuk meperjuangkannya, bukankah hidup ini tak lebih dari perjuangan, bahkan menurut Marx, untuk mencapai tahap yang lebih tinggi dari suatu masyarakat maka selalu ada perjuangan kelas didalamnya.

Berlanjut ke keadaan kedua dimana saat aku membeli sandal, antara “ya” atau “tidak”.

Pertama bila aku mebeli sandal yang aku inginkan (“ya”) maka aku telah mengeluarkan uang untuk sandal yang tidak pas dengan kakinya, tetapi bila tidak membeli (“tidak”) maka aku tak tahu apakah aku akan membeli sandal, melihat aku tidak terlalu pandai memanage uang.

Akhirnya aku memilih “diantaranya”, yakni aku membeli (“ya”) sebuah sandal tetap sandal yang lain (“tidak”) dengan memperhatikan faktor keadaan dan peluang. Artinya, aku memang tidak memiliki sandal yang aku inginkan, tetapi aku bisa memiliki sandal yang lumayan, dan selain itu aku memiliki sisa uang belanja yang bisa subtitusikan ke barang lain, dan saat aku mempunyai uang lagi aku tinggal membeli sandal yang aku inginkan (bila mendapat ukuran yang pas) lain waktu. Berarti selalu ada pilihan antara “ya” atau “tidak” melihat keadaan dan peluangnya.

Dalam diskusi diatas suatu hal “benar” atau “salah” dimana dalam kehidupan kita selalu dibentrokan antara dua sisi, dua pilihan. “Benar” adalah benar bila ada “salah”, dan “salah” adalah benar bila ada “benar”. Keduanya berhubungan dan tidak bisa dipisahkan, kontradiktif, tetapi tidak defititif. Artinya kita selalu punya pilihan relatif, baik dalam presepsi maupun implementasi, entah kita mencomot “benar” dari presepsi mana (tidak termasuk kedalam “benar” atau “salah” dalam presepsi awal), ataupun salah dari presepsi yang lain. Initinya dalam konteks dan ruang apa, lalu bagaimana?

Selain itu juga ada “ya” atau “tidak”, yakni dalam menentukan suatu pilihan sepatu diatas ada jalan alternatif, tetapi tetap menggunakan perhitungan. Pilihan diantaranya adalah keputusan dari pada “ya” tetapi menyesal, atau “tidak” tetapi juga menyesal. Alternatif seperti itu bisa sangat membantu, yakni janganlah otak kita selalu terdikte antara “ya” atau “tidak”, tetapi melihat diantara.

Dalam hidup selalu ada pilihan dalam menjalaninya, bagaimana kita berani bertaruh untuk mengambil resikonya atau tidak, mencoba bukanlah hal yang “lumrah” dalam hidup, tetapi berani dan yakin. Pernah aku bilang kepada seorang teman hidup tak lebih dari sebuah permainan, antara menang, kalah, atau seri. Menang ada bila ada kalah, seri berarti penundaan (bukan sia-sia, menurutku tak ada yang sia-sia dalam hidup, semua bermakna bila kita benar-benar melihatnya), juga teringat kata temanku saat ada temanku yang lainnya menyarahkan hasil tulisannya ke temanku tadi, dia bilang “maaf ya klo hasilnya jelek”, lalu temanku yang satunya menjawab, “bukankah lebih baik kita bisa menilai bagus apa jelek daripada tidak sama sekali”. Permainan ini haruslah kita selesaikan, sampai game over, jangan terlalu tegang, terlalu serius, karena akibatnya sangat fatal (depresi, stres, gila).

Jadi apapun pilihanmu tetap jalani hari-harimu dengan senyum lebar, menang-kalah, konflik, benar-salah, iya-tidak, kontra-pro, adalah biasa, tinggal bagaimana kita menikmati prosesnya, berani menjalani prosesnya, menentukan pilihan langkah dalam setiap prosesnya, dan bagaimana kita menikmatinya, So, nikamti semua harimu kawan!.

Tidak ada komentar:

Minggu, 11 April 2010

Pilihan dan Pilihlah!

Kita tidak ada yang tahu apa yang terjadi sebelum kita menjadi seorang bayi manusia, apakah dulu jiwa atau roh kita telah mengadakan perjanjian tentang apa dan bagaimana kita di dunia ini? Mungkinkah hal itu yang mereka sebut sebagai suratan takdir? Tapi yang jelas, berdasarkan pengalaman yang telah aku alami sebagi proses, sesuatu hal itu adalah kembali kebagi masing-masing subyek. Artinya, bisa atau tidak, berhasil atau tidak, semua itu kembali kediri kita masing-masing.

Dulu sekali, sewaktu masih SMA, seorang teman yang hidup dari keluarga sederhana mengatakan kepadaku, bahwa dia tidak percaya apa itu takdir, takdir adalah kita, dan kitalah yang harus merubahnya. Tetapi hal itu dia muali pungkiri setelah beberapa tahun sesudahnya. Sore itu disebuah persawahan kampung dia mulai menyerah dengan takdirnya, mungkin memang benar takdir bila aku seorang anak petani biasa aku harus menjadi petani. Nada putus asanya keluar, nada yang sangat aku benci. Dia melanjutka, dia takut, sangat takut, untuk berusaha lebih keras (selama ini dia telah berusaha) bila hasilnya malah akan menghancurkanku dalam kegilaan mimpi-mimpi. Dia sudah muak dengan hidupnya, dengan pikirannya, dengan dunianya, “mungkin saatnya aku sadar dan menerima takdirku ini sebagai mana mestinya”.

Setelah percakapan itu kami seperti melupakannya, semua berjalan seperti biasa, santai bareng, sharing bareng, diskusi bareng, dan berdebat bareng dengan teman-teman kampung lainnya. Memang satu yang aku salutin, walau kebanyakan dari mereka adalah anak tak berpunya, tapi semangat dan pikiran tidaklah seperti kebanyakan pemuda kampung.

Hari ini aku membeli sandal, ternyata sangat susah mencari sandal di dengan ukuran kakiku yang besar (ukuran 44), semua yang aku suka hanya berukuran 43, mungkin memang bukan saatnya membeli sandal pikirku. Perhitunganku, daripada aku mengeluarkan kocek 150 ribu keatas untuk membeli sandal yang ukurannya kurang pas mending aku tahan dulu. Ternyata ada sebuah sandal yang lumayan bagus dengan harga lumayan murah (50ribuan), tetapi lagi-lagi ukurannya mentok 43. Oh kejamnya produsen sandal. Dengan sedikit perhitungan, maka aku putuskan untuk membeli sandal tersebut, walau kurang sedikit pas tapi lumayan nyaman dan aku tidak perlu mengeluarkan uang yang banyak.

Dari contoh diatas hal yang ingin aku uraikan adalah dalam menjalani hidup selalu ada pilihan, hidup memang bukan pilihan, tetapi dalam hidup kita selalu punya pilihan. Bukankah kita punya pikiran yang menandakan kita adalah manusia, mahluk yang bisa memilih, merasa dan berakal dalam menjalani hidup. Cogitu ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Itulah yang dikatakan Descartes. Pilihan bukan hanya “ya” atau “tidak”, tetapi bisa diantara keduannya, tergantung dari point of view. Juga bukan hanya “benar” atau “salah” tetapi diantaranya. Apakah salah jika temanku memilih kehidupannya sedemikian?apakah benar jika aku membeli sandal tersebut?. Mari kita diskusikan kedua contoh tersebut.

Temanku sangat antusias memandang hidup dan yakin bahwa dia dapat merubah takdirnya, pastinya dia juga berusaha untuk tetap merubah takdirnya tersebut, bahkan dia juga mempunyai banyak mimpi.

Temanku setelah beberapa tahun memutar balik haluannya, dia sangat pesimis, skeptisme telah melahapnya dalam dunia yang mengerikan, hingga dia tak berani lagi bermimpi, apalagi berusaha mengubah takdirnya.

Keadaan pertama, dia “benar” karena dia sebagai manusia harus tetap yakin dan berusaha, bukankah dalam agama telah dijelaskan “Tuhan tidak akan merubah suatu kaum bila mereka tidak berusaha merubahnya”. Tetapi dia “salah” dilihat dari sudut pandang masyarakat setempat, bahwa sebagai seorang anak petani biasa yang untuk menguliahkan saja tidak sanggup dia berani bermimpi yang sangat muluk-muluk, hanya membuang-buang waktu, pokonya kerja dan kerja.

Keadaan yang kedua, dia “benar” karena dengan mengikuti pandangan masyarakat (termasuk orang tuanya) dia dapat mengisi perutnya, bahkan bisa dibilang dia telah sadar akan status sosialnya. Tetapi dia “salah” karena menyia-nyiakan mimpinya, bukankah semua orang punya mimpi dan berhak untuk meperjuangkannya, bukankah hidup ini tak lebih dari perjuangan, bahkan menurut Marx, untuk mencapai tahap yang lebih tinggi dari suatu masyarakat maka selalu ada perjuangan kelas didalamnya.

Berlanjut ke keadaan kedua dimana saat aku membeli sandal, antara “ya” atau “tidak”.

Pertama bila aku mebeli sandal yang aku inginkan (“ya”) maka aku telah mengeluarkan uang untuk sandal yang tidak pas dengan kakinya, tetapi bila tidak membeli (“tidak”) maka aku tak tahu apakah aku akan membeli sandal, melihat aku tidak terlalu pandai memanage uang.

Akhirnya aku memilih “diantaranya”, yakni aku membeli (“ya”) sebuah sandal tetap sandal yang lain (“tidak”) dengan memperhatikan faktor keadaan dan peluang. Artinya, aku memang tidak memiliki sandal yang aku inginkan, tetapi aku bisa memiliki sandal yang lumayan, dan selain itu aku memiliki sisa uang belanja yang bisa subtitusikan ke barang lain, dan saat aku mempunyai uang lagi aku tinggal membeli sandal yang aku inginkan (bila mendapat ukuran yang pas) lain waktu. Berarti selalu ada pilihan antara “ya” atau “tidak” melihat keadaan dan peluangnya.

Dalam diskusi diatas suatu hal “benar” atau “salah” dimana dalam kehidupan kita selalu dibentrokan antara dua sisi, dua pilihan. “Benar” adalah benar bila ada “salah”, dan “salah” adalah benar bila ada “benar”. Keduanya berhubungan dan tidak bisa dipisahkan, kontradiktif, tetapi tidak defititif. Artinya kita selalu punya pilihan relatif, baik dalam presepsi maupun implementasi, entah kita mencomot “benar” dari presepsi mana (tidak termasuk kedalam “benar” atau “salah” dalam presepsi awal), ataupun salah dari presepsi yang lain. Initinya dalam konteks dan ruang apa, lalu bagaimana?

Selain itu juga ada “ya” atau “tidak”, yakni dalam menentukan suatu pilihan sepatu diatas ada jalan alternatif, tetapi tetap menggunakan perhitungan. Pilihan diantaranya adalah keputusan dari pada “ya” tetapi menyesal, atau “tidak” tetapi juga menyesal. Alternatif seperti itu bisa sangat membantu, yakni janganlah otak kita selalu terdikte antara “ya” atau “tidak”, tetapi melihat diantara.

Dalam hidup selalu ada pilihan dalam menjalaninya, bagaimana kita berani bertaruh untuk mengambil resikonya atau tidak, mencoba bukanlah hal yang “lumrah” dalam hidup, tetapi berani dan yakin. Pernah aku bilang kepada seorang teman hidup tak lebih dari sebuah permainan, antara menang, kalah, atau seri. Menang ada bila ada kalah, seri berarti penundaan (bukan sia-sia, menurutku tak ada yang sia-sia dalam hidup, semua bermakna bila kita benar-benar melihatnya), juga teringat kata temanku saat ada temanku yang lainnya menyarahkan hasil tulisannya ke temanku tadi, dia bilang “maaf ya klo hasilnya jelek”, lalu temanku yang satunya menjawab, “bukankah lebih baik kita bisa menilai bagus apa jelek daripada tidak sama sekali”. Permainan ini haruslah kita selesaikan, sampai game over, jangan terlalu tegang, terlalu serius, karena akibatnya sangat fatal (depresi, stres, gila).

Jadi apapun pilihanmu tetap jalani hari-harimu dengan senyum lebar, menang-kalah, konflik, benar-salah, iya-tidak, kontra-pro, adalah biasa, tinggal bagaimana kita menikmati prosesnya, berani menjalani prosesnya, menentukan pilihan langkah dalam setiap prosesnya, dan bagaimana kita menikmatinya, So, nikamti semua harimu kawan!.

Tidak ada komentar: