Senin, 31 Januari 2011

Kawan-Lawan

Dalam dinamika kehidupan kita sering sekali dibentrokan oleh yang namanya “kepentingan”. Kepentinganlah yang bisa merubah sesuatu 1800, seperti halnya kawan dengan sekejap pun bisa berubah menjadi lawan. Hal seperti ini sudah barang tentu pernah dirasakan oleh para pembaca, dalam kajian kali ini maka saya akan membedah masalah ini dan beberapa contohnya. Ok,tanpa banyak kata, mari kita mulai.
Bila merujuk pada pendapat Aristotelles maka manusia adalah zoon politicon, yakni manusia adalah mahluk politik dalam arti yang murni. Sebelum membahas hal ini lebih baik kita telusuri dulu apa arti dari politik. Politik berarti seni, seni disini berarti sebuah cara untuk melakukan sesuatu dengan melihat kondisi dan situasi yang ada, yakni bagaimana seseorang dapat menempatkan dirinya dalam suatu dinamika. Kembali ke konsep “manusia politik” maka dapat diartikan bahwa manusia adalah mahluk sosial yang hidup dalam dinamika sosialnya dan mempunyai peran di dalamnya. Dalam menjalankan perannya sebagai manusia, maka akan banyak bentrokan-bentrokan sehingga manusia harus mempunyai batasan untuk mengikat perilaku dan tidak merugikan yang lainnya, inilah yang disebut “etika”, yakni landasan tingkah laku seseorang dalam hal atau konteks tertentu.
Etika inilah yangs sering kali dilanggar demi memenuhi hasrat pribadinya yakni “ego”, tapi dalam hal ini pemberian label ego terlalu sempit, karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai ego, maka dalam konteks ini, pelanggaran terhadap etika sosial bisa kita namakan “ultra ego” atau ego yang berlebihan. Dalam suatu hubungan sosial, maka manusia selalu mempunya kepentingan, hal inilah mengapa Khalil Gibran menyatakan bahawa “tak ada teman sejati, yang ada hanya kepentingan”. Ini penting perlu dicermati secara bijak, kepentingan adalah hal yang sangat manusiawi, karena setiap manusia mempunyai kepentingan, tetapi kepentingan seperti apakah yang diamaksud, yakni apakah kepentingan tersebut akan memepengaruhi kepentingan orang lain sehingga mereka merasa dirugaikan atau tidak, maka etika adalah kuncinya. Dengan batasan dan landasan berperilaku seseorang akan terlindungi dan melindungi satu sama lain, lalu kehamonisan akan terwujud dalam kesadaran sosialnya.
Ada satu sifat yang sering disalah artikan oleh seseorang, yakni kompetisi. Kadang dalam kompetisi orang akan susah membedakan mana yang seharusnya menjadi saingan atau mana yang bukan, sifat berkompetisi ini sangat mendasar, seseorang akan berkompetisi untuk meningkatkan existensinya, baik disadari atau tidak existensi menjadi kebutuhan dasar manusia hari ini. Seperti contoh, sering kita melihat persahabatan hancur akibat perebutan terhadap seorang wanita yang dipuja bersama-sama, senyatanya dala hal ini adalah etika yang dilanggar, mereka bilang ini adalah sportifitas, dan saat kompetisi seperti ini dilakukan dan etika pergaulan (persahabatan) dilanggar maka kehancuran dapat terjadi kapan saja. Bahkan rivalitas juga bisa terjadi tidak dalam perebutan seseorang, tetapi juga perasaan yang inferior terhadap seseorang yang superior juga menjadi alasan seseorang unutk berkompetisi, bahkan dia sengaja menggunakan soft oppurtunity untuk merongrong existensi orang yang dianggapnya lebih superior, hal ini terjadi bila seseorang membutuhkan penghargaan yang lebih tinggi dari orang lain tanpa “mengaca” mengapa dia tidak mendapatkan lebih. Perlu dipahami lebih lanjut antara ultra ego dan perasaan, yang sering sekali orang sulit untuk membedakan sehingga mereka tega menghancurkan satu sama lain, baik secara langsung maupun tak langsung.
Perasaan atau rasa adalah sebuah ekspresi dari hati yang muncul dengan sendirinya akibat adanya suatu kebutuhan yang hanya dipahami oleh perasaan itu sendiri dan menjadi kebutuhan bersama apabila rasa itu mendapat tempat yang benar, seperti jika kita melihat orang kesusahan maka ada iba dan ketertarikan untuk menolong, juga bila kita menemukan seseorang yang mengerti dan memahami satu sama lain dan menjadi pendamping dalam hidup. Selanjutnya adalah ultra ego, yakni dmana seseorang dengan menggebu-gebu dan reaksioner menempatkan emosinya untuk mewujudkan keinginan dan memunafikkan yang lain demi terwujudnya nafsu yang ada di otaknya. Seperti saat kita melihat ada perempuan cantik lalu kita tertairk untuk medapatkan cintanya dan memilki tubuhnya, ultra ego yang speerti ini lebih suka saya artikan sebagai “rasa sementara”. Tetapi dalam hal ini, orang sering bingung mengartikan antara ultra ego dan rasa akibat tidak bekerjanya otak secara sehat, mereka bila telah terkekang oleh nafsu maka tidak akan meperdulikan yang lainnya. Seperti contoh, pernahkah anda melihat ada teman atau seseorang yang saat mendekati perempuan dia sangat mengebu-gebu dan berantusias, tetapi setalah mendapatkannya dia malah cuek dan meninggalkannya, mereka bukannya tak ada rasa pada perempuan, hanya saja mereka bingung untuk mengexpresikan emosi mereka yang belum jelas, yakni anatra rasa sementara atau ultra ego atau sebuah rasa murni, dan saat hal itu terjadi yakni kebinguangan maka mereka dengan mudah bilang ternyata ini bukan perempuan yang mereka idamkan, rasa penasaran mereka telah hilang berganti rasa angkuh dan puas yang menghancurkan rasa si perempuan yang mulai tertanam.
Ok, bahasan selanjutnya dalam diskusi ini adalah kompetisi dalam existensi. Teringat kata mutiara dari seorang kawan bahwa, “tak ada satupun manusia yang mau existensinya diganggu, jadi berhati-hatilah dalam bergaul”. Apa sebenarnya existensi dan nilainya dalam sebuah dinamika sosial? Existensi adalah sebuah “keberadaan dan pengakuan” terdahap seseorang baik yang di akui oleh diri sendiri maupun oelh orang lain. Dengan sebuah existensi, orang akan dengan bangga menempatkan dirinya dalam suatu strata sosial tertentu, dan nilainya dalam dinamika sosial adalah sangat penting karena menyangkut “penghargaan”. Seperti contoh, bila ada kawan, lalu kita mengejeknya hingga dia benar-benar malu atau “mati karakter” dalam suatu kondisi maka itu berarti kita sudah menggangu existensinya, ini dapat berakibat buruk bila karakter kawa kita rusak, bisa menimbulkan dendam dan dia pun akan memberikan “label” tersendiri terhadap diri kita, bahwa kitalah yang telah membutanya begitu. Bnayk anak periang menjadi pendiam karena hal ini, yakni existensi dirinya diganggu dan membuatnya kehilangan jati diri atau kepercayaan diri. Sperti contoh lagi, pernah saya menggugat statement dosen pembimbing salah satu mata kuliah sehingga dia tak bisa berkata dan mealawan, ini berarti saya telah menggagu existensi dosen tersebut, alhasil, nilai saya pun mejadi kurang.
Selanjutnya, bicara existensi tak lepas dari bicara tentang “penghargaan”. Setiap orang membutuhkan penghrgaan dari orang lain atas dirinya untuk membangun dirinya ketarap yang lebih tinggi dalam strata sosial. Penghargaan sangat berbeda dengan pujian, bila pujian kita secara langusng, tetapi penghargaan lebih luas, yakni langusng dan tak langsung. Mendengarkan kawan bicara dengan baik adalah salah satu penghargaan, memberikan tanggapan yang sopan terhdapa statement seseorang juga merupakan penghargaan, dan masih banyak lagi cakupannya. Penghargaan sangat penting sebagai apresiasi terhdapa existensi seseorang dan bila kita percaya pada hukum timbal-balik, maka saat kita menghargai orang lain niscaya orang lain juga akan memberikan penghargaan terdahap diri kita, bahkan lebih.
Ok, sedikit pembahasan diatas sekiranya dapat membantu kita untuk lebih mengolah diri secara lebih baik, yakni dengan berlandaskan etika kita akan lebih memupuk tali pertemanan menjadi persahabatan, dan persahabatan menjadi persaudaraan, bukan sebaliknya. Kawan-lawan pada dasarnya adalah pilihan, yakni bagaiamana cara kita memperlakukan seseorang, bahkan lawan pun dapat menjadi kawan jika kita dapat mengolahnya dengan baik. Semoga, kita dapat menikmati hari-hari kita dengan lebih berarti dan dengan mempererat silahturahmi.

Senin, 31 Januari 2011

Kawan-Lawan

Dalam dinamika kehidupan kita sering sekali dibentrokan oleh yang namanya “kepentingan”. Kepentinganlah yang bisa merubah sesuatu 1800, seperti halnya kawan dengan sekejap pun bisa berubah menjadi lawan. Hal seperti ini sudah barang tentu pernah dirasakan oleh para pembaca, dalam kajian kali ini maka saya akan membedah masalah ini dan beberapa contohnya. Ok,tanpa banyak kata, mari kita mulai.
Bila merujuk pada pendapat Aristotelles maka manusia adalah zoon politicon, yakni manusia adalah mahluk politik dalam arti yang murni. Sebelum membahas hal ini lebih baik kita telusuri dulu apa arti dari politik. Politik berarti seni, seni disini berarti sebuah cara untuk melakukan sesuatu dengan melihat kondisi dan situasi yang ada, yakni bagaimana seseorang dapat menempatkan dirinya dalam suatu dinamika. Kembali ke konsep “manusia politik” maka dapat diartikan bahwa manusia adalah mahluk sosial yang hidup dalam dinamika sosialnya dan mempunyai peran di dalamnya. Dalam menjalankan perannya sebagai manusia, maka akan banyak bentrokan-bentrokan sehingga manusia harus mempunyai batasan untuk mengikat perilaku dan tidak merugikan yang lainnya, inilah yang disebut “etika”, yakni landasan tingkah laku seseorang dalam hal atau konteks tertentu.
Etika inilah yangs sering kali dilanggar demi memenuhi hasrat pribadinya yakni “ego”, tapi dalam hal ini pemberian label ego terlalu sempit, karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai ego, maka dalam konteks ini, pelanggaran terhadap etika sosial bisa kita namakan “ultra ego” atau ego yang berlebihan. Dalam suatu hubungan sosial, maka manusia selalu mempunya kepentingan, hal inilah mengapa Khalil Gibran menyatakan bahawa “tak ada teman sejati, yang ada hanya kepentingan”. Ini penting perlu dicermati secara bijak, kepentingan adalah hal yang sangat manusiawi, karena setiap manusia mempunyai kepentingan, tetapi kepentingan seperti apakah yang diamaksud, yakni apakah kepentingan tersebut akan memepengaruhi kepentingan orang lain sehingga mereka merasa dirugaikan atau tidak, maka etika adalah kuncinya. Dengan batasan dan landasan berperilaku seseorang akan terlindungi dan melindungi satu sama lain, lalu kehamonisan akan terwujud dalam kesadaran sosialnya.
Ada satu sifat yang sering disalah artikan oleh seseorang, yakni kompetisi. Kadang dalam kompetisi orang akan susah membedakan mana yang seharusnya menjadi saingan atau mana yang bukan, sifat berkompetisi ini sangat mendasar, seseorang akan berkompetisi untuk meningkatkan existensinya, baik disadari atau tidak existensi menjadi kebutuhan dasar manusia hari ini. Seperti contoh, sering kita melihat persahabatan hancur akibat perebutan terhadap seorang wanita yang dipuja bersama-sama, senyatanya dala hal ini adalah etika yang dilanggar, mereka bilang ini adalah sportifitas, dan saat kompetisi seperti ini dilakukan dan etika pergaulan (persahabatan) dilanggar maka kehancuran dapat terjadi kapan saja. Bahkan rivalitas juga bisa terjadi tidak dalam perebutan seseorang, tetapi juga perasaan yang inferior terhadap seseorang yang superior juga menjadi alasan seseorang unutk berkompetisi, bahkan dia sengaja menggunakan soft oppurtunity untuk merongrong existensi orang yang dianggapnya lebih superior, hal ini terjadi bila seseorang membutuhkan penghargaan yang lebih tinggi dari orang lain tanpa “mengaca” mengapa dia tidak mendapatkan lebih. Perlu dipahami lebih lanjut antara ultra ego dan perasaan, yang sering sekali orang sulit untuk membedakan sehingga mereka tega menghancurkan satu sama lain, baik secara langsung maupun tak langsung.
Perasaan atau rasa adalah sebuah ekspresi dari hati yang muncul dengan sendirinya akibat adanya suatu kebutuhan yang hanya dipahami oleh perasaan itu sendiri dan menjadi kebutuhan bersama apabila rasa itu mendapat tempat yang benar, seperti jika kita melihat orang kesusahan maka ada iba dan ketertarikan untuk menolong, juga bila kita menemukan seseorang yang mengerti dan memahami satu sama lain dan menjadi pendamping dalam hidup. Selanjutnya adalah ultra ego, yakni dmana seseorang dengan menggebu-gebu dan reaksioner menempatkan emosinya untuk mewujudkan keinginan dan memunafikkan yang lain demi terwujudnya nafsu yang ada di otaknya. Seperti saat kita melihat ada perempuan cantik lalu kita tertairk untuk medapatkan cintanya dan memilki tubuhnya, ultra ego yang speerti ini lebih suka saya artikan sebagai “rasa sementara”. Tetapi dalam hal ini, orang sering bingung mengartikan antara ultra ego dan rasa akibat tidak bekerjanya otak secara sehat, mereka bila telah terkekang oleh nafsu maka tidak akan meperdulikan yang lainnya. Seperti contoh, pernahkah anda melihat ada teman atau seseorang yang saat mendekati perempuan dia sangat mengebu-gebu dan berantusias, tetapi setalah mendapatkannya dia malah cuek dan meninggalkannya, mereka bukannya tak ada rasa pada perempuan, hanya saja mereka bingung untuk mengexpresikan emosi mereka yang belum jelas, yakni anatra rasa sementara atau ultra ego atau sebuah rasa murni, dan saat hal itu terjadi yakni kebinguangan maka mereka dengan mudah bilang ternyata ini bukan perempuan yang mereka idamkan, rasa penasaran mereka telah hilang berganti rasa angkuh dan puas yang menghancurkan rasa si perempuan yang mulai tertanam.
Ok, bahasan selanjutnya dalam diskusi ini adalah kompetisi dalam existensi. Teringat kata mutiara dari seorang kawan bahwa, “tak ada satupun manusia yang mau existensinya diganggu, jadi berhati-hatilah dalam bergaul”. Apa sebenarnya existensi dan nilainya dalam sebuah dinamika sosial? Existensi adalah sebuah “keberadaan dan pengakuan” terdahap seseorang baik yang di akui oleh diri sendiri maupun oelh orang lain. Dengan sebuah existensi, orang akan dengan bangga menempatkan dirinya dalam suatu strata sosial tertentu, dan nilainya dalam dinamika sosial adalah sangat penting karena menyangkut “penghargaan”. Seperti contoh, bila ada kawan, lalu kita mengejeknya hingga dia benar-benar malu atau “mati karakter” dalam suatu kondisi maka itu berarti kita sudah menggangu existensinya, ini dapat berakibat buruk bila karakter kawa kita rusak, bisa menimbulkan dendam dan dia pun akan memberikan “label” tersendiri terhadap diri kita, bahwa kitalah yang telah membutanya begitu. Bnayk anak periang menjadi pendiam karena hal ini, yakni existensi dirinya diganggu dan membuatnya kehilangan jati diri atau kepercayaan diri. Sperti contoh lagi, pernah saya menggugat statement dosen pembimbing salah satu mata kuliah sehingga dia tak bisa berkata dan mealawan, ini berarti saya telah menggagu existensi dosen tersebut, alhasil, nilai saya pun mejadi kurang.
Selanjutnya, bicara existensi tak lepas dari bicara tentang “penghargaan”. Setiap orang membutuhkan penghrgaan dari orang lain atas dirinya untuk membangun dirinya ketarap yang lebih tinggi dalam strata sosial. Penghargaan sangat berbeda dengan pujian, bila pujian kita secara langusng, tetapi penghargaan lebih luas, yakni langusng dan tak langsung. Mendengarkan kawan bicara dengan baik adalah salah satu penghargaan, memberikan tanggapan yang sopan terhdapa statement seseorang juga merupakan penghargaan, dan masih banyak lagi cakupannya. Penghargaan sangat penting sebagai apresiasi terhdapa existensi seseorang dan bila kita percaya pada hukum timbal-balik, maka saat kita menghargai orang lain niscaya orang lain juga akan memberikan penghargaan terdahap diri kita, bahkan lebih.
Ok, sedikit pembahasan diatas sekiranya dapat membantu kita untuk lebih mengolah diri secara lebih baik, yakni dengan berlandaskan etika kita akan lebih memupuk tali pertemanan menjadi persahabatan, dan persahabatan menjadi persaudaraan, bukan sebaliknya. Kawan-lawan pada dasarnya adalah pilihan, yakni bagaiamana cara kita memperlakukan seseorang, bahkan lawan pun dapat menjadi kawan jika kita dapat mengolahnya dengan baik. Semoga, kita dapat menikmati hari-hari kita dengan lebih berarti dan dengan mempererat silahturahmi.